Sumba barat daya menunjukkan keindahannya melalui Kampung Ratenggaro.
Kampung ini istimewa karena terletak pada sebuah tebing di tepi pantai
Ratewoyo. Posisinya menghadap ke lautan lepas dengan ombak yang besar
memecah karang. Lurus ke depan, tak ada lagi daratan hingga tiba di
Afrika.
Kampung ini semula terletak di tanjung yang letaknya
tepat di tepi pantai. Namun abrasi dan pasang laut menyebabkan air masuk
ke rumah, sehingga penduduk memutuskan untuk memindahkan kampung ke
tebing yang lebih tinggi.
Pada bekas kampung di tepi pantai masih
tersisa kumpulan kubur batu megalitikum. Bentuknya berbeda dengan kubur
batu lempengan bertiang seperti di kota Waikabubak. Kubur batu yang ada
di sini terbuat dari batu utuh dengan tinggi lebih dari dua meter dan
dihiasi tulisan serta gambar kuno.
Duduk
di samping kubur batu kuno menyaksikan pantai cantik dengan ombak
berdebur, saya mengerti kenapa Sumba begitu dipuja akan kekayaan budaya
dan kecantikan alamnya. Pantai berpasir putih lembut diapit karang dan
tebing tinggi mengingatkan saya pada Tanah Lot di Bali. Tentu saja,
pantai ini jauh lebih indah dan sangat sepi. Sayangnya saya datang saat
mendung sehingga tak bisa menyaksikan senja.
Di pantai itu saya
bertemu dengan bapak tua bernama Thomas yang memainkan alat musik
tradisional yang terbuat dari kayu. Petikan dawainya menambah suasana
magis yang rasa rasakan di tempat itu. Kelelahan akibat perjalanan
dengan motor selama dua jam langsung hilang.
Kampung tersebut
terletak di daerah Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kodi ada di ujung
barat pulau Sumba. Tempat ini berjarak sekitar 80 kilometer dari kota
tempat saya menginap, Waikabubak. Dilihat di peta jalan ini agak
memutar, tapi inilah jalan yang kondisinya paling baik.
Kali ini
saya diantar oleh pemandu bernama Timoteus Pingge, penduduk asli Sumba.
Meskipun dia bilang jalan yang kami lewati kondisinya paling baik, tetap
saja kami harus melewati kubangan dan jalan berlubang. Sepanjang
perjalanan kami bertemu rombongan anak-anak sekolah yang tersenyum ramah
dan menyapa setiap pengendara yang berpapasan dengan mereka. “Siang
ibu, siang bapa,” kata mereka. Awan mendung menggantung sehingga
beberapa kali kami harus berteduh dari hujan.
Sawah, rumah di
tepi jalan dengan kubur batu di halaman, jurang dan hutan menjadi
suguhan yang menakjubkan untuk mata sepanjang perjalanan. Sebelum
berangkat, kami membeli oleh-oleh penduduk desa. Rokok untuk
bapak-bapak, sirih pinang untuk para ibu dan permen untuk anak-anak.
Tinggal
di daerah yang begitu cantik tak banyak berpengaruh terhadap
kesejahteraan warga kampung. Hanya segelitir dari mereka yang mencari
penghidupan dari laut. Apalagi, kampung ini hanya terdiri atas lima
rumah adat. Kebakaran yang terjadi empat tahun lalu membakar nyaris
seluruh rumah di kampung. Dari 13 rumah, hanya satu yang selamat.
Kampung
adat Sumba memang punya risiko kebakaran yang tinggi. Atap rumah yang
terbuat dari ilalang mudah terbakar pada musim kemarau. Api menjalar
terbawa angin, sehingga kebakaran biasanya memusnahkan seluruh rumah di
kawasan.
Membangun ulang rumah adat tidak murah. Warga kampung
bercerita bahwa sebuah rumah membutuhkan empat tiang utama agar tetap
tegak berdiri. "Satu kayu harganya sama dengan seekor kerbau besar,"
kata para penghuni kampung. Itu baru biaya untuk tiang utama, belum
menghitung biaya untuk membangun dinding, lantai dan atap. Selain biaya
yang mahal, bahan-bahan yang semula mudah didapat dari hutan kini
semakin sulit dicari.
Selanjutnya saya mengunjungi Kampung
Paronabaroro. Kondisi kampung di daerah ini berbeda dengan kampung yang
saya jelajahi di kota Waikabubak sebelumnya. Letaknya yang terpencil
membuat kampung ini masih sangat sederhana. Kepercayaan Marapu masih
dipegang erat oleh para penghuninya.
Perempuan
tua mengenakan kain tanpa penutup dada. Pria dan wanita mengunyah sirih
pinang yang membuat ludah mereka berwarna merah kesumba. Kebiasaan ini
dimulai sejak umur belasan dan membuat bibir nampak merah seakan memakai
gincu. Kuda tertambat di samping rumah sebagai lambang status sosial
keluarga.
Jalan masuk menuju kampung ini berupa jalan setapak
sepanjang kira-kira 4 kilometer. Pada bagian depan kampung terdapat
tanah lapang penuh kubur batu yang lebih baru. Sebagian sudah
dimodifikasi dengan menggunakan semen, bukan lagi batu utuh.
Kubur
batu dengan usia lebih tua terletak di bagian tengah kampung. Kompleks
kubur batu mengelilingi sebuah altar tempat pelaksanan upacara adat. Tak
sembarang orang boleh menginjakkan kaki ke tempat yang dianggap keramat
itu.
Listrik baru saja masuk di kawasan ini pada akhir bulan
Januari. Sumber listrik berasal dari genset yang bahan bakarnya diisi
dengan cara patungan dengan beberapa kampung di sekitar. Untuk menghemat
biaya, mereka hanya menggunakannya pada malam hari.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar,