Bau harum menyergap saya saat menjejakkan kaki di pulau Sumba untuk
pertama kalinya. Bandar udara Tambolaka berbau seperti bunga yang
berbaur daun dan hutan. Inilah Sumba, dimana padang sabana berpagar
pantai dan langit biru. Sumba, negeri para rato, dimana darah tertumpah
untuk mengantarkan arwah.
Kota pertama yang saya tuju bernama
Waikabubak, ibukota kabupaten Sumba Barat. Kota ini berjarak satu jam
perjalanan dari bandara Tambolaka. Waikabubak banyak disarankan oleh
para penggemar perjalanan sebagai pos untuk menjelajahi wilayah Sumba
Barat dan sekitarnya.
Setelah
meletakkan tas di hotel, saya bersiap keliling kota berbekal selembar
peta. Tujuan pertama adalah mencari warung makan, yang baru saya temukan
setelah berjalan agak jauh dari penginapan. Belakangan saya tahu bahwa
warung makan adalah barang langka di Sumba. Mereka hanya ada di beberapa
di kota, sisanya ada di terminal atau persinggahan tepi jalan utama.
Tak
jauh dari Jalan Bhayangkara yang merupakan jalan utama, terdapat tiga
kampung adat yakni kampung Tarung, kampung Waitabar dan kampung Prai
Klembung. Meski berada di tengah kota warga ketiga kampung ini masih
memegang teguh kepercayaan adat. Mendaki sedikit, saya menemukan
kumpulan rumah kayu beratap alang-alang dengan kubur batu di
sekelilingnya.
Rumah adat ini punya tiga bagian. Bagian paling
bawah adalah tempat tinggal hewan peliharaan seperti kerbau, babi,
kambing dan ayam. Di atasnya ada bagian tempat tinggal keluarga.
Penduduk desa bercerita bahwa dulu, satu rumah bisa menampung 60 orang
yang tidur mengelilingi perapian.
Pada bagian tengah rumah adat
terdapat perapian yang selalu menyala. Di atas perapian tergantung kotak
penyimpan makanan yang sudah dimasak, agar tak dimakan binatang yang
bebas berkeliaran di dalam rumah. Api juga menjaga makanan tetap hangat
dan awet.
Bagian ketiga rumah adalah atap. Atap rumah adat Sumba
menjulang tinggi, bisa sampai 8 meter. Di dalam atap terdapat ruangan
yang dipakai untuk menyimpan cadangan makanan. Peralatan upacara juga
biasanya disimpan di sini.
Penghuni kampung sangat ramah
mengajak saya mengobrol. Mereka heran ketika saya menjelaskan bahwa saya
datang sendirian dari Jakarta, lalu menyapa saya dengan sebutan "adik
nona". Warga kampung bercerita tentang marapu, agama adat Sumba. Marapu
adalah kepercayaan terhadap dunia roh yang berpengaruh besar dalam
kehidupan manusia yang masih hidup. Meski memuja arwah leluhur, bukan
berarti penganut Marapu tak punya Tuhan. Penganut Marapu beriman pada
sang maha pencipta yang mendengar dan melihat segala yang dilakukan
manusia.
Pemujaan
terhadap arwah menyebabkan upacara pemakaman menjadi hal yang penting
bagi penganut marapu. Mereka percaya bahwa orang yang meninggal harus
diantar menuju alam arwah dengan upacara yang cukup. Jika tidak, rohnya
akan melayang-layang sehingga dapat membahayakan kerabatnya maupun orang
lain.
Upacara kematian melibatkan pengorbanan hewan dalam jumlah
besar. Puluhan kerbau, kuda dan babi harus disembelih untuk melengkapi
upacara. Jenazah kemudian diletakkan dalam lubang kubur atau dalam kubur
batu. Meski kini warga sudah banyak yang menganut agama Kristen,
upacara ini tetap dilakukan. Sebagian jenazah juga tetap dimakamkan
dengan kubur batu yang berlambang salib.
Di dalam kampung,
seperti juga di kota, saya banyak melihat warga yang menyandang parang.
Rupanya penduduk asli Sumba terbiasa menyarungkan parang tajam ke
pinggang, kemanapun mereka pergi. Seorang bapak yang saya temui dengan
bangga menceritakan kisah tentang parangnya. Dia mengaku pernah
menggunakan parang itu untuk membunuh orang. "Tapi itu dulu. Sekarang
membawa parang menjadi salah satu cara saya untuk menjaga adat," kata
bapak itu.
Darah dan perang bukan hal asing bagi penduduk asli
Sumba. Konon pada zaman dahulu, penduduk desa punya kebiasaan memenggal
kepala serta menguliti lawan yang kalah dalam perang antar suku. Desa
ini punya tambur yang berlapis kulit manusia. Sayang saya tak boleh
melihatnya karena tambur kecil ini hanya keluar saat upacara adat.
Hingga kini perang antar suku masih terjadi karena berbagai alasan,
antara lain perebutan batas tanah.
Suasana
kampung ramai dengan ibu-ibu yang menenun kain di teras rumah. Tenunan
ini dibuat dengan alat sederhana dan dihiasi lambang-lambang tradisional
merapu. Selembar kain butuh waktu tenun satu hingga dua minggu dan akan
dijual mulai harga Rp 50 ribu. Penduduk desa nampak sudah terbiasa
dengan kedatangan turis, yang akan diminta mengisi buku tamu dan
memberikan donasi. Anak-anak akan menyapa riang, dengan harapan mendapat
sepotong gula-gula.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar,